Sabtu, 10 Desember 2011

MAKALAH MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM





MODEL DAN ORGANISASI PENGEMBANGAN KURIKULUM
PENDAHULUAN


A.  LATAR BELAKANG
Pengembangan kurikulum  tidak dapat  lepas  dari  berbagai  aspek  yang
mempengaruhinya, seperti cara berpikir, sistem nilai (nilai moral, keagamaan, politik,
budaya,  dan  sosial),  proses  pengembangan,  kebutuhan  peserta  didik,  kebutuhan
masyarakat  maupun  arah  program  pendidikan.  Aspek-aspek tersebut  akan  menjadi
bahan  yang perlu  dipertimbangkan  dalam  suatu pengembangan  kurikulum.  Model
pengembangan  kurikulum  merupakan  suatu alternative  prosedur  dalam  rangka
mendesain  (design),  menerapkan  (implementation),  dan  mengevaluasi  (evaluation)
suatu kurikulum.  Oleh  karena  itu,  model  pengembangan kurikulum  harus  dapat
menggambarkan suatu proses sistem perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi
berbagai kebutuhan dan standar keberhasilan pendidikan.
Dalam  praktik pengembangan  kurikulum  sering  terjadi  kecenderungan  hanya
menekankan  pada  pemenuhan mata  pealajaran.  Astinya  isi  atau materi  yang harus
dipelajari peserta didik hanya  berpusat pada disiplin ilmu  yang terstruktur, sistematis
dan logis, sehingga mengabaikan pengetahuan dan kemampuan aktual yang dibutuhkan
sejalan perkembangan masyarakat.
Salah  satu aspek yang perlu dipahami  dalam  pengembangan  kurikulum  adalah
aspek yang berkaitan  denga  organisasi  kurikulum.  Organisasi  kurikulum  berkaitan
dengan  pengaturan  bahan  pelajaran,  yang selanjutnya  memiliki  dampak terhadap
masalah  administrative  pelaksanaan  proses  pembelajaran,      tean teaching  misalnya
(Olivia,  1992: 285 dalam  Ruhimat,  T.  dkk,  2009: 83).  Organisasi  kurikulum  bukan
masalah  manajerial  lembaga  pendidikan.  Organisasi  kurikulum  merupakan  pola  atau
desain bahan/  isi  kurikulum  yang  tujuannnya  untuk mempermudah siswa  dalam
mepelajari  bahan  pelajaran serta  mempermudah siswa  dalam  melakukan  kegiatan
belajar, sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.












1





B.  RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.   Apakah pengertian model perkembangan kurikulum?
2.   Apa saja jenis model perkembangan kurikulum?
3.   Bagaimana perbandingan model-model perkembangan kurikulum?
4.   Apa perngertian dan sebagaimana pentingnya organisasi kurikulum?
5.   Apa saja bentuk-bentuk organisasi kurikulum?
6.   Apa saja kelebihan dan kekurangan dari masing-masing organisasi kurikulum?


C.  TUJUAN PEMBAHASAN
1.   Menjelaskan pengertian model pengembangan kurikulum.
2.   Menjelaskan berbagai jenis model pengembangan kurikulum.
3.   Membandingkan model-model pengembangan kurikulum.
4.   Menjelaskan pengertian dan pentingnya organisasi kurikulum.
5.   Menjelaskan bentuk-bentuk organisasi kurikulum.
6.   Menganalisis  kelebihan dan  kekurangan dari  masing-masing organisasi
kurikulum.
































2





MODEL PENGEMBANGAN DAN ORGANISASI KURIKULUM




A. MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
Model  pengembangan  kurikulum  merupakan  suatu alternatif  prosedur  dalam
rangka  mendesain    (designing),  menerapkan     (implementation),  dan  mengevaluasi
(evaluation) suatu kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus
dapat  menggambarkan  suatu proses  sistem  perencanaan  pembelajaran  yang dapat
memenuhi berbagai kebutuhan dan standar keberhasilan pendidikan. (Ruhimat, T. dkk
2009: 74).
Pengembangan kurikulum perlu dilakukan dengan berlandaskan pada teori yang
tepat  agar  kurikulum  yang berhasil  bisa  efektif.  Seperti  dalam  pernyataan  di  atas,
bahwasanya  model pengembangan kurikulum  merupakan alternatif dalam  mendesain,
menerapkan dan mengevaluasi serta tindak lanjut dalam pembelajaran. Banyak model
pengembangan  kurikulum  yang telah  ada,  dan  masing-masing dari  model
pengembangan kurikulum  memiliki karakteristik   yang sama,  yang mengacu berbasis
pada  tujuan  yang akan  dicapai  dalam  kurikulum  tersebut,  seperti  alternatif  yang
menekankan  pada  kebutuhan mata  pelajaran,  peserta  didik,  penguasaan  kompetensi
suatu pekerjaan, kebutuhan masyarakat atau permasalahan sosial.
Sedangkan dalam praktiknya, model pengembangan kurikulum cenderung lebih
menekankan  pada  isi  materi  yang sistematik  dan  logis,  dan  implementasinya  pada
kehidupan masyarakat sering diabaikan.
Agar  dapat  mengembangkan  kurikulum  yang  baik,  sebaiknya  para  ahli
kurikulum memahami dengan terperinci berbagai model pengembang kurikulum. Yang
dimaksud dengan  model  pengembang kurikulum adalah  langkah  atau prosedur  yang
sistematis  dalam  penyusunan  kurikulum.  Sehingga  terjadi  keseimbangan  antara  teori
dan  praktik mengenai  kurikulum.  Hal  tersebut diharapkan  dapat  terwujudnya
kurikulum  yang ideal  dan  optimal.  Dalam  makalah  ini,  akan  dijelaskan  mengenai
beberapa  model  pengembangan  kurikulum  seperti  model  Tyler,  Administratif,
Grassroot, Demonstrasi, Seller dan Miller, Taba dan model Beauchamp.









3





1. Model Ralph Tyler
Model pengembangan kurikulum yang dikemukakan Tyler diajukan berdasarkan
pada beberapa pertanyaan yang mengarah pada langkah-langkah dalam pengembangan
kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
a.   Tujuan pendidikan apa yang dicapai oleh sekolah?
b.   Pengalaman-pengalaman pendidikan  apakah  yang semestinya  diberikan untuk
mencapai tujuan pendidikan?
c.   Bagaimanakah pengalaman-pengalaman pendidikan sebaiknya diorganisasikan?
d.   Bagaimanakah menentukan bahwa tujuan telah tercapai?


Berdasar pada empat pertanyaan tersebut,  Tyler merumuskan empat tahap yang
harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum, yaitu meliputi:


a.   Menentukan Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan  merupakan arah atau sasaran  akhir  yang harsu dicapai dalam
program  pendidikan  dan pembelajaran.  Tujuan pendidikan  harus  menggambarkan
perilaku akhir  setelah  peserta  didik mengikuti  program  pendidikan,  sehingga  tujuan
tersebut harus dirumuskan secara jelas dan terperinci.
Ada  tiga  aspek yang harus  dipertimbangkan  sebagai  sumber  dalam  penentuan
tujuan pendidikan menurut Tyler, yaitu:
1)   hakikat peserta didik,
2)   kehidupan masyakat masa kini, dan
3)   pandangan para ahli bidang studi.
Penentuan  tujuan  pendidikan  dengan  berdasar  kepada  ketiga  aspek diatas,
selanjutnya  difilter  oleh  nilai-nilai  filosofis  masyarakat  dan  filosofis  pendidikan  serta
psikologi belajar.
Ada  lima  faktor  yang menjadi  arah  penentuan  tujuan  pendidikan,  yaitu:
pengembangan       kemampuan      berpikir,       membantu      memperoleh       informasi,
pengembangan  sikap  kemasyarakatan,  pengembangan minat  peserta  didik,  dan
pengembangan sikap sosial.









4





b. Menentukan Proses Pembelajaran
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam penentuan proses pembelajaran
adalah persepsi dan latar belakang kemampuan peserta didik. Pengalaman peserta didik
akan  sangat  membantu dalam  terwujudnya  tujuan  pendidikan  yang telah ditetapkan.
Dalam  proses  pembelajaran  akan  terjadi  interaksi  antara  peserta  didik dengan
lingkungan  pendidikan  atau sumber  belajar,  yang  tujuannya  untuk membentuk sikap,
pengetahuan dan keterampilan sehingga muncul perilaku yang utuh. 


c. Menentukan Organisasi Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar sangat dipengaruhi oleh tahapan-tahapan dan isi atau materi
belajar.  Tahapan-tahapan  belajar  yang tersusus  dengan  rapi  akan  sangat  membantu
terwujudnya  tujuan pembelajaran.  Kejelasan  materi  dan proses  pembelajaran akan
memberikan gambaran mengenai jenis evaluasi yang akhirnya dapat digunakan.


d. Menentukan Evaluasi Belajar
Menentukan  evaluasi  belajar  yang cocok merupakan  tahap akhir  dalam  model
Tyler.  Dalam  menentukan  evalusi  belajar  hendaknya  mengacu pada  tujuan
pembelajaran,  materi  pembelajaran  serta  proses  pembelajaran  yang telah  ditentukan
sebelumnya.  Selain itu,  hendaknya  merujuk pula  pada  prinsip-prinsip evaluasi  yang
ada.




2. Model Administratif
Pengembangan kurikulum ini disebut juga dengan istilah dari atas ke bawah (top
down) atau staff lini (line-staff procedure), artinya dalam pengembangan kurikulum ini
terdapat beberapa tahapan secara prosedural yang harus ditempuh dengan dibantu oleh
beberapa tim tertentu.
Langkah  pertama  adalah  pembentukan  ide  awal yang dilaksanakan  oleh para
pejabat  tingkat  atas,  yang membuat  keputusan  dan  kebijakan berkaitan  dengan
pengembangagn  kurikulum.  Tim  ini  sekaligus  sebagai  tim  pengarah  dalam
pengembangan kurikulum.
Langkah kedua adalah membentuk suatu tim panitia pelaksana atau komisi untuk
mengembangkan kurikulum  yang didukung oleh beberapa  anggota  yang terdiri  dari
para  ahli,  yaitu: ahli  pendidikan,  kurikulum,  disiplin imu,  tokoh  masyarakat,  tim

5





pelaksana pendidikan, dan pihak dunia kerja. Tim ini bertugas untuk mengembangkan
konsep-konsep umum,  landasan,  rujukan,  maupun  strategi  pengembangan  kurikulum
yang selanjutnya  menyusun  kurikulum  secara  opersional  berkaitan  dengan
pengembangan  atau perumusan  tujuan  pendidikan  maupun  pembelajaran,  pemilihan
dan penyusunan rambu-rambu dan substansi materi pembelajaran, menyusun alternatif
proses pembelajaran, dan menentukan penilaian pembelajaran.
Langkah ketiga, kurikulum yang sudah selesai disusun kemudia diajukan untuk
diperiksa  dan  diperbaiki  oleh  tim  pengarah.  Tim  ini  melakukan  penyesuaian  antara
aspek-aspek kurikulum  secara  terkoordinasi  dan  menyiapkan  secara  sistem  dalam
rangka  uji  coba  maupun  dalam  rangka  sosialisasi  dan  penyebarluasan  (desiminasi).
Setelah perbaikan  dan penyempurnaan,  kurikulum  tersebut  perlu diujicobakan  secara
nyata di beberapa sekolah yang diangga representatif. Pelaksana uji coba adalah tenaga
professional yang tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum.
Supaya  uji  coba  tersebut  menghasilkan masukan yang  efektif  maka  diperlukan
kegiatan  monitoring dan  evaluasi  yang fungsinya  untuk memperbaiki  atau
menyempurnakan  berdasarkan  pelaksanaan  di lapangan.  Kelemahan  dari  model
administratif  adalah  kurikulum  ini  bentuknya  seragam  dan  bersifat  sentralistik,
sehingga  kurang sesuai  jika  diterapkan  dalam  dunia  pendidikan  yang menganut  asas
desentralisasi. Selain dari pada  iti, kurikulum  ini kurang tanggap terhadap perubahan
nyata yang dihadapi para pelaksana kurikulum di lapangan.




3. Model Grass Roots
Pengembangna kurikulum  model  ini adalah kebalikan dari  model administratif.
Model  Grass Roots adalah model pengembangan kurikulum yang dimulai dari bawah.
Dalam prosesnya pengembangan kurikulum ini diawali atau dimulai dari gagasan dan
ide guru-guru sebagai tim pengajar. Model ini lebih demokratis karena digagas sendiri
oleh  pelaksana  di  lapangan,  sehingga  perbaikn  bisa  dimulai  dari  unit  yang paling
terkecil dan spesifik hingga ke yang lebih besar.
Ada  beberapa  ketentuan  yang harus  diperhatian  dalam  menerapkan model
pengembangan grass roots ini, yaitu:
a.   guru harus memiliki kemampuan yang professional,
b.   guru harus  terlibat  penuh  dalam  perbaikan  kurikulum  dan  penyelesaian  masalah
kurikulum,

6





c.   guru harus  terlibat  langsung dalam  perumusan tujuan,  pemilihan  bahan,  dan
penentuan evalusi,
d.   seringnya  pertemuan  kelompok dalam  pembahasan  kurikulum  yang akan
berdampak terhadap pemaham  guru dan  akan menghasilkan  konsesus  tujuan,
prinsip, maupun rencana-rencana.
Model  pengambangan  kurikulum  ini  dapat  dikembangakan pada  lingkup luas
maupun dalam  lingkup yang sempit.  Dapat  berlaku untuk bidang studi  tertentu atau
sekolah tertentu, tetapi dapat pula digunakan untuk beberapa bidang studi maupun pada
beberapa  sekolah  yang lebih luas.  dalam  prosesnya,  guru-guru harus  mampu
melakukan  kerja  operasional  dalam  pengembangan  kurikulum  secara  kooperatif
sehingga dapat menghasilkan suatu kurikulum yang sistemik.
Oleh  karena  itu pengembangan  kurikulum  model  ini  sangat  membutuhkan
dukungan  moril  maupun  materil  yang  bersifat  kondusif  dari  pihak  pimpinan.  Ada
beberapa  hal  yang  harus  diantisipasi  dalam  model  ini,  di  antaranya  adalah  akan
bervariasinya sistem kurikulum di sekolah karena  menerapkan partisipasi sekolah dan
masyarakat  secara  demokratis.  Sehingga  apabila  tidak terkontrol  (tidak ada  kendali
mutu), maka cenderung banyak mengabaikan kebijakan pusat.




4. Model Demostrasi
Model  pengembangan kurikulum  idenya  datang dari  bawah        (grass  roots).
Semula  merupakan  suatu upaya  inovasi kurikulum dalam  skal kecil  yang selanjutnya
digunakan dalam  skala  yang  lebih luas,  tetapi  dalam  prosesnya  sering  mendapat
tantangan atau ketidaksetujuan dari pihak-pihak tertentu. Menurut Smith, Stanley, dan
Shores, ada dua bentuk mpdel pengembangan ini. 
Pertama,  sekelompok guru dari  satu sekolah  atau beberapa  sekolah  yang
diorganisasi  dan  ditunjuk untuk melaksanakan  suatu uji  coba  atau eksperimen  suatu
kurikulum.  Unit-unit  ini  melakukan  suatu proyek melalui  kegiatan penelitian  dan
pengembangan  untuk menghasilkan  suatu model  kurikulum.  Hasil  dari  kegiatan
penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapt digunakan pada lingkungan sekolah
yang lebih luas. pengembangan model ini biasanya diprakarsai oleh pihak Departemen
Pendidikan dan dilaksanakan oleh kelompok guru dalam rangka inovasi dan perbaikan
suatu kurikulum.



7





Kedua,  dari  beberapa  orang guru yang merasa  kurang puas  tentang kurikulum
yang sudah ada, kemudian mereka mengadakan eksperimen, uji coba dan mengadakan
pengembangan  secara  mandiri.  Pada  dasarnya  guru-guru tersebut  mencobakan yang
dianggap belum  ada,  dan  merupakan  suatu inovasi  terhadap kurikulum,  sehingga
berbeda  dengan  pengembangan yang berlaku,  dengan  harapan akan ditemukan
pengembangan kurikulum yang lebih baik dari yang ada.
Ada beberapa kebaikan dalam penerapan model pengembangan ini, diantaranya
adalah: 
a.    kurikulum  ini  lebih nyata dan praktis karena dihasilkan  melalui proses  yang telah
diuji dan diteliti secara ilmiah,
b.   perubahan  kurikulum  dalam  skala  kecil  atau pada  aspek yang lebih  khusus
kemungkinan  kecil  akan  ditolak oleh  pihak administrator,  akan  berbeda  dengan
perubahan kurikulum yang sangat luas dan kompleks,
c.    hakekat  model  demonstrasi  berskala  kecil  akan  terhindar  dari  kesenjangan
dokumen dan pelaksanaan di lapangan,
d.   model ini akan menggerakkan inisiatif, kreatifitas guru-guru serta memberdayakan
sumber-sumber  administrasi  untuk memenuhi  kebutuhan  dan  minat  guru dalam
mengembangkan program baru.


5. Model Miller-Seller
Pengembangan kurikulum  ini  ada perbedaan dengan  model-model  sebelumnya.
model  pengembangan  kurikulum  Miller-Seller  merupakan  pengembangan  kurikulum
kombinasi  dari  model  transmisi  (Gagne)  dan  model  transaksi  (Taba’s  &  Robinson),
dengan tahapan pengembangan sebagai berikut:


a. Klarifikasi Orientasi Kurikulum
Orientasi  ini  merefleksikan pandangan  filosofis,  psikologos,  dan  sosiologis
terhadap kurikulum  yang seharusnya  dikembangkan.  Menurut  Miller  dan  Seller,  ada
tiga jenis orientasi kurikulum yaitu tranmisi, transaksi, dan transformasi.


b. Pengembangan Tujuan
Langkah  selanjutnya  adalah  mengembangkan  tujaun  umum  dan  tujuan khusus
berdasarkan orientasi kurikulum  yang bersangkutan. Tujuan umum dalam konteks  ini
adalah  merefleksikan  pandangan  orang     (image  person)  dan  pandangan     (image)

8





kemasyarakatan. Tujuan pengembangan merupakan tujuan yang masih relative umum.
Oleh  karena  itu,  perlu dikembangkan  tujuan-tujuan  yang lebih khusus  hingga  pada
tujuan instruksional.


c. Identifikasi Model Mengajar
Pada  tahap ini  pelaksana  kurikulum  harus  mengidentifikasi  strategi  mengajar
yang akan  digunakan  yang disesuaikan  dengan  tujuan  dan  orientasi  kurikulum.  Ada
beberapa  kriteria  yang harus  diperhatikan  dalam menentukan  model  mengajar  yang
akan digunakan, yaitu:
1)   Disesuaikan dengan tujuan umum maupun tujuan khusus.
2)   Strukturnya harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
3)   Guru yang  menerapkan  kurikulum  ini  harus  sudah memahami  secara  utuh,
sudah dilatih, dan mendukung model.
4)   Tersedia sumber-sumber yang esensial dalam pengembangan model.


d. Implementasi
Implementasi  sebaiknya  dilaksanakan  dengan memperhatikan  komponen-
komponen  program  studi,  identifikasi  sumber,  pernana,  pengembangan  professional,
penetapan waktu, komunikasi, dan sistem monitoring. Langkah ini merupakan langkah
akhir  dalam  pengembangan  kurikulum.  Prosedur  orientasi  yang dibakukan  pada
umumnya tidak sesuai dengan kurikulum transformasi, sebaliknya kurikulum transmisi
pada  umumnya  menggunakan  teknik-teknik evaluasi  berstruktur  dalam  menilai
kesesuaian antara pengelaman-pengalaman, strategi be;ajar dan tujuan pendidikan.




6. Model Taba (Inverted Model)
Model  Taba  merupakan  modifikasi  model Tyler.  Modifikasi  tersebut
penekanannya  terutama  pada  pemusatan  perhatian  guru.  Menurut  Taba,  guru harus
penuh  aktif  dalam  pengembangan  kurikulum.  Pengembangan  kurikulum  yang
dilakukan  guru dan  memposisikan  guru sebagai  innovator  dalam  pengembang
kurikulum  merupakan karakteristik  dalam  model  pengembangan  Taba.  Dalam
pengembangannya, model ini lebih bersifat induktif, berbeda dengan model tradisional
yang deduktif.



9





 Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a.   Mengadakan unit-unit eksperimen bersama dengan guru-guru.
Dalam  kegitaan  ini  perlu mempersiapkan  (1)  perencanaan  berdasarkan  pada
teori-teori yang kuat, (2) eksperimen harus dilakukan di dalam kelas agar menghasilkan
data empiric dan teruji.


b.   Menguji unit eksperimen.
Unit  yang  dihasilkan pada  langkah  pertama  diujicobakan  di  kelas-kelas
eksperimen pada  berbagai  situasi  dan  kondisi  belajar.  Pengujian dilakukan  untuk
mengetahui tingkat validitas dan kepraktisan sehingga dapat  menghimpun data untuk
penyempurnaan.


c.   Mengadakan revisi dan konsolidasi
Perbaikan  dan  penyempurnaan  dilakukan  berdasarkan  data  yang dihimpun
sebelumnya.  selain  perbaikan  dan  penyempurnaan,  dilakukan  juga  konsolidasi,  yaitu
penarikan  kesimpulan  pada  hal-hal  yang bersifat  umum  dan  konsisten  teori  yang
digunakan.


d.   Pengembangan keseluruhan kurikulum (developing’ a framework).
Langkah ini merupakan tahap pengkajian kurikulum yang telah direvisi.


e.   Implementasi dan desiminasi.
Dalam tahap ini dilakukan penerapan dan penyebarluasan program ke daerah dan
sekolah-sekolah, dan dilakukan pendataan tentang kesulitan serta permasalaham  yang
dihadapi guru-guru di lapangan. Oleh karena itu perlu diperhatikan tentang persiapan di
lapangan yang berkaitan dengan aspek-aspek penerapan kurikulum.




7. Model Beauchamp
Model  ini  dikembangakan  oleh  George  A.  Beuchamp,  seorang ahli  kurikulum.
Menurut Beauchamp, proses pengembangan kurikulum meliputi lima tahap yaitu:
a.   Menentukan area atau wilayah akan dicakup oleh kurikulum
Penentuan  tahap ini  ditentukan  pemegang wewenang yang dimiliki  pengambil
kebijakan dibidang kurikulum.

10





b.   Menetapkan personalia
Tahap ini menentukan siapa saja orang yang akan terlibat dalam pengembangan
kurikulum.  Ada  empat  kategori  orang yang sebaiknya  dilibatkan,  yaitu: para  ahli
pendidikan  atau kurikulum  yang ada  pada  pusat  pengembangan  kurikulum  dan  ahli
bidang studi; para ahli pendididkan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru
terpilih; para  professional  dalam  bidang pendidikan;  professional  lain dan  tokoh
masyarakat.


c.   Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum
Langkah  ini  berkenaan  dengan prosedur  dalam  merumuskan tujuan  umum  dan
tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, juga dalam
menentukan desain kurikulum secara keseluruhan.


d.   Implementasi kurikulum
Tahap ini  yaitu pelaksanaan  kurikulum  yang telah  dikembangkan  oleh  tim
pengembang. Dalam pelaksanaan kurikulum dibutuhkan kesiapan guru, siswa, fasilitas,
biaya, manajerial dan kepemimpinan sekolah. 


e.   Evaluasi kurikulum
Hal-hal  penting yang dievaluasi  yaitu: pelaksanaan  kurikulum  oleh  guru-guru,
desain kurikulumnya, hasil belajar siswa, keseluruhan dari sistem kurikulum. 




B. ORGANISASI KURIKULUM
Salah satu aspek yang perlu dipahami dalam pengembangan kurikuluym adalah
aspek yang berkaitan  dengan  organisasi  kurikulum.  Organisasi  kurikulum  berkaitan
dengan  pengaturan  bahan  pelajaran,  yang selanjutnya  memiliki  dampak terhadap
masalah  administrative  pelaksanaan  proses  pembelajaran,  team  teaching  misalnya
(Olivia, 1992: 285 dalam Ruhimat, T. dkk, 2009: 83). Organisasi kurikulum merupakan
pola  atau desain bahan/ isi  kurikulum  yang tujuannya  untuk mempermudah siswa
dalam  mempelajari  bahan pelajaran  serta  mempermudah  siswa  dalam  melakukan
kegiatan belajar, sehingga tujuan pengembangan dapat dicapai secara efektif.
Berkaitan  dengan  pola  organisasi  kurikulum,  terdapat  sejumlah  pendapat  dan
variasi pengkategorian  sistem organisasi kurikulum. Dalam  makalah  ini  akan dibahas

11





organisasi kurikulum berdasarkan dua kategori yaitu organisasi kurikulum berdasarkan
mata  pelajaran  dan  organisasi  kurikulum  terintegrasi.  Diambilnya  pengkategorian  ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pertama, masih banyak dan relevannya bidang studi
atau pelajaran  sebagai  pusat  perhatian  isi  kurikulum.  Kedua,  adanya  kebutuhan
alternative isi kurikulum non disiplin, berdasarkan pada suatu fokus kebutuhan tertentu.
Organisasi  kurikulum  pola  terintegrasi  merujuk pada  pertinbangan non  disiplin ilmu.
Pada praktiknya isi dari suatu disiplin ilmu menjadi bagian yang dipelajari.


1. Organisasi Kurikulum Berdasarkan Mata Pelajaran (Subjet Curriculum)
Organisai kurikulum berdasarkan mata pelajaran dibedakan atas empat pola yaitu
Separated Curriculum, Boradfield Curriculum, dan Integrated Curriculum.


a. Mata Pelajaran Terpisah (Separated Curriculum)
Bentuk kurikulum  ini  sudah  lama  digunakan,  karena  organisasi  kurikulum
bentuk ini sederhana dan mudah dilaksanakan. Tetapi tidak selamanya yang dianggap
mudah  dan  sederhana  tersebut  akan  mendukung terhadap efektivitas  dan  efisiensi
pendidikan  yang sesuai  dengan  perkembangan sosial.  Mata  pelajaran yang terpisah-
pisah  (separated  subject curriculum)  bertujuan  agar  generasi  muda  mengenal  hasil-
hasil  kebudayaan  dan  pengetahuan  umat  manusia  yang telah  dikumpulkan  secara
berabad-abad,  agar  mereka  tak perlu mencari  dan  menemukan  kembali  dengan  apa
yang telah diperoleh dari generasi  terdahulu (Nasution, 1986 dalam Ruhimat, T. dkk,
2009: 85).
Secara  fungsional  bentuk kurikulum  ini  mempunyai kekurangan dan kelebihan,
kelebihan pola  mata  perlajaran yang terpisah-pisah  (separated subject curriculum),
yaitu:
1)   Bahan pelajaran disusun secara sistematis, logis, sederhana, dan mudah dipelajari.
2)   Dapat dilaksanakan untuk mewariskan nilai-nilai dan budaya terdahulu.
3)   Kurikulum ini mudah diubah dan dikembangkan.
4)   Bentuk kurikulum  ini  mudah  dipola,  dibentuk,  didesain bahkan mudah  untuk
diperluas dan dipersempit sehingga mudah disesuaikan dengan waktu yang ada.









12





Sedangkan  kekurangan  pola  mata  pelajaran  yang terpisah-pisah  (separated
subject curriculum), yaitu:
1)     Bahan  pelajaran diberikan  atau dipelajari  secara  terpisah-pisah,  tidak
menggambarkan adanya hubungan antara materi-materi satu dengan yang lainnya.
2)     Bahan pelajaran yang diberikan atau yang dipelajari siswa tidak bersifat actual.
3)     Proses  belajar  lebih mengutamakan  aktivitas  guru sedangkan  siswa  cenderung
pasif.
4)     Bahan  pelajaran merupakan  informasi  maupun pengetahuan  masa  lalu yang
terlepas dengan kejadian masa sekarang dan yang akan datang.
5)     Bahan pelajaran tidak berdasarkan pada aspek permasalahan sosial yang dihadapi
siswa maupun kebutuhan masyarakat.
6)     Proses  dan  bahan  pelajaran  sangat  kurang memperhatikan  bakat,  minta,  dan
kebutuhan siswa.


b. Mata Pelajaran Terhubung (Correlated Curriculum)
Pola  kurikulum  korelasi  yaitu pola  organisasi  kurikulum  yang menghubungkan
pembahasan  suatu mata  pelajaran  dengan  mata  pelajaran  lainnya,  atau suatu pokok
bahasan  dengan  pokok bahasan  lainnya.  Materi  kurikulum  yang  terlepas-lepas
diupayakan  dihubungkan  dengn  materi  kurikulum  atau materi  pelajaran  yang sejenis
atau relevan dengan tujuan pembelajaran, sehingga dapat memperkata wawasan siswa.
Ada  beberapa  kelebihan  dan kekurangan dalam  pola  kurikulum  jenis  ini.
kelebihannya, adalah:
1)   Ada keterhubungan antar materi pelajaran walau sebatas beberapa mata pelajaran.
2)   Memberikan wawasan yang lebih luas dalam lingkup satu bidang studi.
3)   Menambah minat siswa untuk mempelajari mata pelajaran yang terkolerasi.


Sedangkan kekurangannya adalah:
1)   Bahan pelajaran yang diberikan kurang sistematis serta kurang begitu mendalam.
2)   Kurikulum  ini  kurang menggunakan  bahan pelajaran  yang  aktual  yang langsung
berhubungan dengan kehidupan nyata siswa.
3)   Kurikulum ini kurang memperhatikan bakat, minat dan kebutuhan siswa.
4)   Apabila prinsip penggabungan belum dipahami kemungkinan bahan pelajaran yang
disampaikan terlampau abstrak.



13





c. Fusi Mata Pelajaran (Broadfields Curriculum)
Fusi  mata  pelajaran  atau dikenal    juga  dengan  istilah  broadfields  curriculum
adalah jenis organisasi kurikulum yang menghapuskan batas-batas mata pelajaran dan
menyatukan mata  pelajaran  yang  memiliki  hubungan erat  dalam  satu kesatuan,
tujuannya  adalah  agar  para  pendidik  mengerti  jenis-jenis  arti  perkembangan
kebudayaan yang efektif, manfaat yang didapat dari berbagai ragam disiplin ilmu, dan
upaya  mendidik anak agar  menghasilkan  anak  yang      civilled  (Idi,  1999:29 dalam
Ruhimat, T. dkk, 2009: 87).
Beberapa  disiplin ilmu sejenis  disatukan  dalam satu mata  pelajaran  tertentu.
Nama payung mata pelajaran ini bisa beragam, namun dalam sistem pendidikan formal
atau persekolahan kita mengenal, nama mata pelajaran:
1)   Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan peleburan dari Ilmu Fisika, Ilmu Hayat,
Ilmu Kimia, dan Ilmu Kesehatan.
2)   Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) hasil peleburan Ilmu Bumi, Sejarah, Civic, Hukum,
Ekonomi, Geografi dan sejenisnya.
3)   Bahasa,  hasil  peleburan  Membaca,  Menulis,  Mengarang,  Menyimak,  dan
Pengetahuan Bahasa.
4)   Matematika, peleburan dari Berhitung, Aljabar, Ilmu Ukur Sudut, Bidang, Ruang,
dan Statistik.
5)   Kesenian, adalah hasil peleburan dari Seni Tari, Seni Suara, Seni Klasik, Seni Pahat
dan Drama.
Model  organisasi  ini  memiliki  keunggulan  diantaranya  adalah  matapelajaran
akan  semakin  dirasakan  kegunaannya,  sehingga  memungkinkan  pengadaan  mata
pelajaran yang kaya akan pengertian dan mementingkan prinsip dasar generalisai. Ada
pun  kelemahannya  adalah  hanya  memberikan  pengetahuan  secara  sketsa,  abstrak,
kurang logis dari  suatu mata pelajaran  (Soetopo dan Soemanto dalam Idi 1999:29-30
dalam Ruhimat, T dkk, 2009:87).


d. Kurikulum Terpadu
Kurikulum  ini  memandang bahwa  dalam  suatu pokok bahasan  harus  terpadu
(integrasi)  secara  menyeluruh.  Keterpaduan  ini dapat dicapai  melalui  pemusatan
pelajaran  pada  satu masalah  tertentu dengan  alternative  pemecahan  melalui  berbagai
disiplin ilmu atau mata  pelajaran  yang diperlukan,  sehinbgga  batas-batas  antar  mata
pelajaran dapat ditiadakan.

14





Pembelajaran  yang  mungkin digunakan  adalah  pemecahan  masalah,  metode
proyek,  pengajaran  unit,  inkuiri,  dicovery,  dan  oendekatan  tematik yang dilakukan
dalam  pembelajaran  kelompok maupun  secara  perorangan.  Pengembangan  program
pembelajran  perlu dilakukan  secara  bersama-sama  antara  siswa  dan  guru,  tetapi
sebelumnya  guru harus  menyiapkan  rancangan  program  pembelajaran  sebagai  acuan 
yang  perlu  dikembangkan  bersama-sama  dengan siswa  atau mungkin dengan
masyarakat.
Ada  beberapa  kekurangan  dan kelebihan  dalam  kurikul  ini.  Adapun  kelebihan
dari kurikulum ini adalah:
1)   Mempelajari bahan pelajran melalui pemecahan masalah dengan cara memadukan
beberapa mata pelajaran secara menyeluruh dalam menyelesaikan suatu topik atau
permasalahan.
2)   Memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar sesuai dengan bakat, minat, dan
potensi yang dimilikinya secara individu.
3)   Memberikan  kesempatan  pada  siswa  untuk menyelesaikan  permasalahan  secara
komprehensif dan dapat mengembangkan belajar secara bekerjasama.
4)   Mempraktekan nilai-nila demokratis dalam pembelajaran.
5)   Memberikan kesempatan siswa untuk belajar secara maksimal.
6)   Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar berdasarkan pada pengalaman
langsung.
7)   Dapat membantu meningkatkan hubungan antara sekolah dengan masyarakat.
8)   Dapat menghilangkan batas-batas yang terdapat dalam pola kurikulum yang lain.


Adapun kekurangan dari bentuk kurikulum ini adalah:
1)   Kurikulum  dibuat  oleh guru dan siswa  sehingga  memerlukan  kesiapan  dan
kemampuan guru secara khusus dalam pengembangan kurikulum seperti ini.
2)   Bahan pelajaran tidak disusun secara logis dan sistematis.
3)   Bahan pelajaran tidak bersifat sederahana.
4)   Dapat  memungkinkan  kemampuan  yang dicapai  siswa  akan  berbeda  secara
mencolok.
5)   Kemungkinan akan memerlukan biaya, waktu, dan tenaga yang banyak.







15





Harapan ideal dari kurikulum ini yaitu dapat membentuk kemampuan siswa yang
terintegrasi, yang menggambarkan manusia yang harmonis sesuai dnegan kebutuhnan
masyarakat maupun sesuai dengan tuntuntan profesi siswa sebagai individu. Penilaian
yang dikembangakan dalam kurikulum ini cenderung lebih komprehensif dan terpadu,
yaitu penilaian  dilakukan  secara  utuh terhadap kemampuan  siswa  selama  dan  setelah
pembelejaran selesai.
Beberapa bentuk organisasi kurikulum dalam kategori ini diantaranya:
(1) Kurikulum Inti (Core Curriculum)
Beberapa karakteristik yang dapat dikaji dalam kurikulum ini adalah: 
a)   Kurikulum  ini  direncanakan  secara  berkelanjutan,  selalu berkaitan,  dan
direncanakan secara terus-menerus; 
b)   isi  kurikulum  yang dikembangkan  merupakan  rangkaian  dari  pengalaman  yang
saling berkaitan;
c)   Isi  kurikulum  selalu mengambil  atas  dasar  masalah  maupun  problema  yang
dihadapi secara aktual;
d)  Isi kurikulum mengambil atau mengangkta subtansi  yang berisfat pribadi  maupun
sosial;
e)   Isi  kurikulum  ini  difokuskan  berlaku untuk semua  siswa,  sehingga  kurikulum  ini
sebagai kurikulum umum tetapi substansinya bersifat problema, pribadi, sosial dan
pengalaman terpadu.


(2) Social Function dan Persistent Situations
Kurikulum  ini  didasarkan  atas  analisis  kegiatan-kegiatan  manusia  dalam
masyarakat.  Dalam    social  function    ini  dapat  diangkat  berbagai  kegiatan-kegiatan
manusia yang dapat dijadikan sebagai topic pembelajaran. Kegiatan-kegiatan manusia
di masyarakat setiap saat akan berubah sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga
susbtansi social function bersifat dinamis.
Sebagai  modifikasi  dari  social  function  adalah  persistent life  situations,  kajian
substansi  dalam  kurikulum  bentuk ini  lebih mendalam  dan  terarah.  Karakteristiknya
adalah situasi yang diangkat senantiasa yang dihadapi manusia dalam hidupnya, masa
lalu, saat ini, dan masa yang akan datang. Secara umum ada tiga kelompok situasi yang
akan dihadapi manusia, diantaranya:
a)   Situasi-situasi  mengenai perkembangan  individu manusia, diantaranya: kesehatan,
intelektual, moral, dan keindahan.

16





b)   Situasi  untuk perkembangan  partisipasi  sosial,  yaitu: hubungan  antar  pribadi,
keanggotaan kelompok, hubungan antar kelompok.
c)   Situasi-situasi untuk perkembangan kemampuan menghadapi faktor-faktor ekonimi
dan daya-daya lingkungan, seperti: bersifat alamiah, sumber teknologi, struktur dan
daya-daya sosial ekonimi.
Dalam kurikulum 2004 mulai dikembangkan pendidikan yang berorientasi pada
kecakapan hidup (life skills). Dasar pemikirannya adalah bahwa kualitas sumber daya
manusia  perlu ditingkatkan  melalui  pendidikan,  terutama  pendidikan  yang  dapat
meningkatkan kualitas berpikir, kalbu, dan fisik serta dapat memilih kegiatan-kegiatan
kehidupan yang seharusnya dilakukan siswa sebagai manusia. Kecakapan hidup adalah
pengetahuan  yang  luas  dan  interaksi  kecakapan yang diperkirakan  merupakan
kebutuhan esensial  bagi  manusia  dewasa  untuk dapat  hidup  secara  mandiri  di
masyarakat.


(3) Experience atau Activity Curriculum
Kurikulum  ini  cenderung mengutamakan  kegiatan-kegiatan  atau pengalaman-
pengalaman  siswa  dalam  rangka  membentuk kemampuan  yang terintegrasi  dengan
lingkungan maupun dengan potensi siswa. Kurikulum ini pada hakikatnya menekankan
pada  pentingnya  siswa  berbuat  dan  melakukan  kegiatan-kegiatan  yang sifatnya
vokasional, tetapi tidak meniadakan aspek intelektual atau akademik siswa. Salah satu
karakteristik dari  kurikulum  ini  adalah  untuk  memberikan  pendidikan  keterampilan
atau kejuruan tetapi di dalamnya tercakup pengembangan kemampuan intelektual dan
akademik yang baerkaitan dengan aspek keterampilan atau kejuruan tersebut.
Ada  empat  tipe  pembelajaran  proyek yang  dapat  dikembangkan  dalam  activity
curriculum, diantaranya:
a)   Construction  on creative  project.                Pembelajaran ini  bertujuan  untuk
mengembanglan ide-ide atau merealisasikan suatu ide dalam suatu bentuk tertentu.
b)   Appreciation on enjoyment project.  Pembelajaran ini  bertujuan  menikmati
pengalaman pengalaman dalam bentuk apreasi atau estetis atau estetika.
c)   The problem project. Pembelajaran ini bertujuan untuk memecahkan masalah yang
bersifat intelektual tetapi ada subtansi keterampilannya (vokasional).
d)   The  drill or  specific project.        Pembelajaran ini  bertujuan untuk memperoleh
beberapa item atau tingkat keterampilan.



17




Beberapa  keuntungan yang akan dirasakan  dalam  pembelajaran jenis  ini,  di
antaranya:
a)   Siswa  akan  berpartisipasi  sepenuhnya  dalam  situasi  belajar,  karena  siswa  akan
mengalami  dan  melakukan  secara  langsung berbagai  kegiatan  yang telah
direncanakan.
b)   Pembelajaran  ini  akan  menerapkan  berbagai  prinsip-prinsip belajar  yang dapat
mengoptimalkan kemampuan siswa dalam pembelajaran.
c)   Mengandung aspek estetika, intelektual, vokasional, dan kreatifitas siswa.


Metode  proyek,  merupakan  bagian  dari  activity  curriculum,  ada  kesamaan
dengan sistem pengajaran unit  (unit teaching). Pengajaran unit merupakan pengalaman
belajar yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya yang berpusat pada
sebuah  pokok atau permasalahan.  Ada  dua  jenis  sumber  pembelajaran  unit,  yaitu
berpusat  pada  bahan  pelajaran  (subject matter),  artinya  topik atau permasalahan
diambil  atau diangkat  dari  topik-topik mata  pelajaran;  berpusat  pada  pengalaman
(experience  or  situations  matter),  artinya  topic  permasalah  diangkat  dari  situasi
lingkungan masyarakat yang dipadukan dengan kebutuhan atau tantangan yang dimiliki
oleh siswa. Perbandingan dua jenis pembelajaran unit tersebut dapat dilihat dari tabel di
bawah ini:




Aspek



Subject Centered Unit



Situations Centered Unit


Sumber Kurikulum - Konsep kesatuan sebagai
karakteristik dari isi mata pelajaran.
- Bersumber dari bidang mata
pelajaran yang tersusun.


-  Konsep kesatuan sebagai
keterpaduan atau integrasi siswa
dalam lingkungannya secara
menyeluruh.
- Bersumber dari kebutuhan siswa
berdasarkan kemampuan potensi
siswa.
- Berdasarkan aktivitas guru dan
siswa.


Tujuan
Pembelajaran


- Seringkali bukan berdasarkan
kebutuhan siswa maupun tuntutan
masyarakat.
- Bersifat umum yang seragam untuk
semua siswa.


- Tuntutan lebih luas dan
komperhensif untuk memenuhi
kebutuhan siswa, lingkungan, dan
pembentukan kompetensi.
- Bersifat individual tetapi
memperhatikan aspek kelompok.













18





Bentuk Organisasi -  Bahan disusun secara logis dari
bentuk sederhana ke kompleks.
-  Berpusat pada hal-hal yang sudah
ada atau yang sedang terjadi dengan
elaborasi ke masa yang akan datang.
-  Bentuk organisasi lebih bersifat
seragam untuk semua siswa.




-  Pengorganisasian berdasarkan hari
ini (sekarang), tidak meninggalkan
pengalaman masa  lalu, untuk
membantu menyelesaikan masalah,
disamping memprediksi masa yang
akan datang.
-  Pengorganisasian secara fleksibel
yang dikembangkan untuk individual
dan kelompok.
-  Bentuk perencanaan secara terperinci
dan fleksibel, yang diorientasikan
pada pembentukan integritas.
-  Menggunakan pendekatan
konstruktivis.


Implementasi











Evaluasi


-   Menitikberatkan pada aktivitas
guru saja.
-   Menekankan pada pembelajaran
hapalan tidak berlandaskan pada
teori belajar gestalt.
-   Sangat formal dan kaku terhadap
pengembangan kegaitan.


-  Bentuk evaluasi sempit dan lebih
periodic.
-  Kurang memperhatikan aspek
individual siswa. 


- Menitikberatkan pada partisipasi dan
tanggung jawab murid.
- Belajar secara fungsional dengan
menggunakan berbagai prinsip
belajar modern.
- Mengembangkan aspek ilmiah,
kreativitas dan totalitas.
- Menggunakan teori belajar gestalt.
- Penilaian lebih komprehensif dan
terpadu dengan menggunakan teknik
dan prosedu evaluas handal. 




Bentuk pembelajaran  unit  juga  telah  digunakan  dalam  kurikulum  2004,  seperti
pendekatann  terpadu dan  pendekatan  tematik pada  kelas  rendah di  sekolah  dasar.
Pendekatan  pembelajaran  terpadu dalam  kurikulum  integrasi  pada  dasarnya  lebih
banyak membantu siswa  untuk mengintegrasikan dirinya  dengan  yang ada  di  dalam
maupun  di  luar  diri  siswa  sehingga  bermakna  bagi  siswa.  Aspek individual  siswa
menjadi dasar yang selalu diperhatikan dalam proses pembelajaran.
Dalam  pembelajaran  terpadu juga  banyak  memberikan  kesempatan dalam
menerapkan  nilai-nilai  demokrasi  dan  kerjasama dalam  kelompok sehingga  akan
terbentuk kemampuan  sosial  dalam  pengalaman belajar.  Tidak dapat  disangkal  lagi
bahwa pembelaran  ini  akan  menempatkan  siswa  sebagai pembelajar  yang melakukan
aktivitas belajar secara langsung dalam subtansi yang dipelajarinya. Namun demikian,


19






sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa kurikulum terpadu memiliki kekurangan
yang harus  diminimalisir  supaya  tujuan  dalam  pembelajaran  ini  dapat  dicapai  secara
efektif.


D. KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
Kurikulum  ini  dikatakan  sebagai  perbaikan  dari  KBK  yang diberi  nama
Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan  (KTSP).  KTSP  ini  merupakan  bentuk
implementasi  dari  UU  No.  20 tahun  2003 tentang sistem  pendidikan  nasional  yang
dijabarkan  ke  dalam  sejumlah  peraturan  antara  lain  Peraturan  Pemerintah  Nomor  19
tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan
arahan  tentang perlunya  disusun dan  dilaksanakan            delapan standar  nasional
pendidikan,  yaitu: (1)standar  isi,  (2)standar  proses,  (3)standar  kompetensi  lulusan,
(4)standar  pendidik  dan tenaga kependidikan,  (5)standar  sarana dan prasarana,
(6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum  dipahami  sebagai  seperangkat  rencana  dan  pengaturan  mengenai
tujuan,  isi,  dan  bahan  pelajaran  serta  cara  yang digunakan  sebagai  pedoman
penyelenggaraan  kegiatan  pembelajaran  untuk mencapai  tujuan  pendidikan  tertentu,
maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah
menggiring pelaku pendidikan  untuk mengimplementasikan  kurikulum  dalam  bentuk
kurikulum  tingkat  satuan  pendidikan,  yaitu kurikulum  operasional  yang disusun  oleh
dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
Secara  substansial,  pemberlakuan  (baca: penamaan)  Kurikulum  Tingkat  Satuan
Pendidikan  (KTSP)  lebih  kepada  mengimplementasikan  regulasi  yang ada,  yaitu PP
No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih
bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah
subject matter), yaitu:
1.   Menekankan  pada  ketercapaian  kompetensi  siswa  baik secara  individual  maupun
klasikal. 
2.   Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. 
3.   Penyampaian  dalam  pembelajaran  menggunakan  pendekatan  dan  metode  yang
bervariasi. 
4.   Sumber  belajar  bukan  hanya  guru,  tetapi  juga  sumber  belajar  lainnya  yang
memenuhi unsur edukatif. 



20





5.   Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau
penCapaian suatu kompetensi.
 Terdapat  perbedaan  mendasar  dibandingkan  dengan  KBK  tahun  2004 dengan
KBK tahun  2006 (versi  KTSP),  bahwa  sekolah  diberi  kewenangan  penuh  dalam
menyusun  rencana  pendidikannya  dengan  mengacu pada  standar-standar  yang
ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar,
kalender pendidikan hingga pengembangan silabusnya 
Kurikulum  Tingkat  satuan  Pendidikan  (KTSP)  merupakan  sebuah  kurikulum
operasional yang disusun oleh guru di setiap tingkatan satuan pendidikan berdasarkan
kebutuhannya.  Kurikulum  ini  dikembangkan  atas  dasar  perbedaan  karakteristik dari
setiap tingkat  satuan pendidikan.  Tetapi  pada  dasarnya  pengembangan kurikulum  ini
mengacu kepada standar pendidikan nasional
Pengembangan KTSP ini berdasarkan model TABA mengacu kepada 5 langkah
pengembangannya, yaitu:


1. Mengadakan Unit-unit eksperimen bersama guru
Perbedaan mendasar  kurikulum  KTSP  ini  dengan  Kurikulum  kurikulum  yang
digunakan sebelumnya adalah mengenai kebebasan  individual dalam mengembangkan
karakteristiknya.  Hal  ini  didasari  oleh  kenyataan  kebutuhan  kurikulum  sebenarnya
TABA sebagai  salah  satu model  dalam  pengembangan Kurikulum,  menjadikan hal
tersebut sebagai salah satu dasar dalam metode pengembanganya yaitu pengadaan unit
eksperimen bersama guru. 


2. Menguji unit eksperimen
Program  KTSP  yang telah direncanakan diuji cobakan kepada sekolah sekolah.
Dari  hasil  pengujicobaan  tersebut,  kita  bias  mendapat  gambaran  sementara  terhadap
sejauh mana kesesuaian kurikulum ini dengan kebutuhan di lapangan 


3. Mengadakan revisi dan konsolidasi
Dengan adanya gambaran sementara tersebut, kita bias melakukan evaluasi dini
terhadap kurikulum  tersebut.  Sehingga  kita  dapat  mengetahui  sekaligus  memperbaiki
kekurangan terhadap kurikulum ini





21





4. Pengembangan Keseluruhan Kerangka Kurikulum
Setelah Dilakukan revisi dan konsolidasi maka langkah selanjutnya adalah harus
dikaji lagi oleh ahli ahli yang berkompeten terhadap pengembangan sebuah kurikulum 


5. Implementasi dan Desiminasi
Langkah  Terakhir  adalah  pengimplementasian  kurikulum  tingkat  satuan
pendidikan. Diterapkan di seluruh sekolah di setiap jenis satuan pendidikan




C. KURIKULUM SEKOLAH INKLUSIF
Pernyataan  Salamanca  menuntut  semua  negara  untuk “mengadopsi  prinsip
pendidikan  inklusif  ke  dalam  perundang-undangan  atau kebijakan  pemerintah,  untuk
menerima semua anak di sekolah reguler kecuali bila ada alasan yang mendesak untuk
melakukan sebaliknya” (UNESCO 1994:1x).
Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusif menyebabkan adanya
tuntutan  yang  besar  terhadap  guru reguler  maupun  pendidik  khusus.  Ini  menuntut
pergeseran  besar  dari  tradisi  “mengajarkan  materi  yang sama  kepada  semua  siswa  di
kelas”,  menjadi  mengajar  setiap anak sesuai  dengan  kebutuhan  individualnya,  tetapi
dalam  seting kelas.  Siswa  mempunyai  bermacam-macam  minat,  bidang dan  tingkat
penguasaan,  komunikasi  dan  strategi  belajar,  kecemasan  dan  kekhawatiran.  Siswa-
siswa tertentu memiliki kebutuhan khusus akan  bantuan karena alasan  yang berbeda-
beda.
Model  relasi  kurikulum  adalah  produk temporer  dari  suatu proses  revisi  yang
berkesinambungan  sejak variasi  pertamanya  diterbitkan  tahun  1994.  Modul  ini
didasarkan pada delapan bidang pendidikan utama klasik – aspek PBM– yang beberapa
di  antaranya  mempunyai  akar  sejarah  lama  (Johnsen  1994;  1998).  Bila  pertama  kali
dikembangkan sebagai alat dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus, model tersebut
dimodifikasi  dari  yang disebut  sebagai  Model  Relasi  Didaktik yang disusun  oleh
Bjørndal dan Lieberg. Model itu merupakan hasil penelitian dan pengembangan selama
beberapa  tahun  terhadap proses  kurikulum  di  dalam  pendidikan  reguler  bersama
dengan guru-guru di lapangan (Bjørndal 1987; Bjørndal dan Lieberg 1978).
Kedelapan  bidang  atau aspek utama  kurikulum  itu saling terkait  secara
berkesinambungan – dan juga terkait dengan bakal pengguna alat profesional ini, yaitu



22




guru reguler  dan guru pendidikan  kebutuhan  khusus.  Aspek-aspek utama  KBM  itu
adalah:
1.   Siswa 
2.   Faktor kerangka kerja 
3.   Tujuan 
4.   Isi 
5.   Strategi dan metode serta pengorganisasian 
6.   Asesmen dan evaluasi 
7.   Komunikasi 
8.   Kepedulian 






























Gambar: Model hubungan kurikulum dengan beberapa aspek PBM yang penting
Tujuan, isi, metode, pengorganisasian, asesmen dan pembelajaran telah menjadi
fokus klasik di sepanjang sejarah ide-ide pendidikan, sedangkan faktor kerangka kerja,
komunikasi  dan  kepedulian merupakan  aspek-aspek yang masih dalam  proses
pemerolehan  perhatian  sekurang-kurangnya  dalam  beberapa  tradisi  pendidikan  dan
tradisi  pendidikan  kebutuhan  khusus.  Akan  tetapi,  muncul  semakin banyak kritik
terhadap pandangan bahwa aspek-aspek itu merupakan aspek-aspek umum dan klasik.
Baik  isinya  maupun  efek pemfokusannya  dipandang  problematis  (Englund 1997;


23





Popkewitz 1997). Beberapa kritikus bahkan menganjurkan agar aspek-aspek itu diganti
dengan konsep-konsep  lain.  Tomas  Englund menyatakan  pandangannya  sebagai
berikut:
… dalam teori didaktik dan kurikulum, kita sering kali terlalu dicengkeram oleh 
konsep-konsep seperti  persekolahan,  perencanaan,  belajar  dan  mengajar.  Sebagai 
gantinya,  saya  pikir  kita  membutuhkan  bahasa  yang menggunakan  konsep-konsep 
seperti  pengalaman,  komunikasi,  kebermaknaan,  praktek                kemandirian,  dan 
seterusnya (Englund 1997:22)
Dua  konsep utama,  yaitu komunikasi  dan  kepedulian,  telah  diperkenalkan  dan
diberikan  posisi  sentral  dalam  model  kurikulum  inklusi.  Kemampuan  untuk
berkomunikasi  dan  kepedulian  dipandang begitu  fundamental  sehingga  semua  aspek
pendidikan  yang  penting  lainnya  tergantung pada  kemampuan  tersebut  agar  dapat
diaktifkan  sejak awal  dan  selama  proses  belajar  dan mengajar.  Pertimbangan-
pertimbangan  mengenai komunikasi dan kepedulian karenanya perlu dikaitkan secara
eksplisit  dengan  tiap aspek utama  lainnya  dan  sub-aspek yang relevan  dalam
kurikulum.
Sebagaimana berulang kali telah disebutkan, bidang pendidikan dan pendidikan
kebutuhan khusus itu kompleks, dan dalam beberapa hal juga kontradiktif. Akibatnya
terdapat  sejumlah  dilema  yang harus  dihadapi  dalam  pekerjaan  kurikulum  praktis.
Dyson (1998:11) menyatakan bahwa “… pemikiran tentang adanya dilema itu menjadi
lensa  yang sangat  kuat  yang dapat  dipergunakan untuk memandang pendidikan pada
umumnya dan pendidikan kebutuhan khusus pada khususnya”. Dalam pandangannya,
dilema bukan sekedar kesulitan yang temporer dan kebetulan, yang muncul pada situasi
tertentu.  Pendidikan  dan  pendidikan  kebutuhan  khusus  ditandai  dengan  serangkaian
dilema  yang  terkait  dengan  aspek-aspek khusus  bidang tersebut.  Sebagai  contoh,
Dyson  mengemukakan dilema  kesamaan  versus  perbedaan,  atau bagaimana
memberikan pendidikan, yang seharusnya sama untuk semua, kepada siswa-siswa yang
berbeda  antara  satu dengan  lainnya.  Dia  melanjutkan  dengan  menunjukkan  bahwa
banyak resolusi telah dicoba untuk mengatasi dilema ini. Akan tetapi, dilema tersebut
tidak hilang, melainkan menjadi lebih nyata dalam bentuk baru.
Dilema seperti ini dapat ditemukan pada tiap aspek utama dari kedelapan aspek
utama  yang disebutkan  di  sini.  Dua  contoh  akan disebutkan.  Terdapat  dilema  antara
kebutuhan guru untuk mengases  kebutuhan  belajar  khusus  dan bahaya  penglabelan
siswa-siswa  tertentu di  kelas.  Diberi  label  dan dikategorikan  ke  dalam  kelompok

24





penyandang cacat  tertentu  dapat berdampak negatif,  baik pada  konsep diri  siswa
maupun  pada  sikap orang lain.  Contoh  kedua  terkait  dengan  bagaimana  tujuan
pendidikan konkret dirumuskan. Terdapat dilema antara kebutuhan untuk merumuskan
tujuan  secara  umum  dan  fleksibel,  yang memungkinkan  siswa  menafsirkan  tugas
belajarnya  secara  bermakna,  dan  kebutuhannya  akan tugas  belajar  yang konkret  dan
terbatasi secara jelas. Praktek kurikulum dalam kelas inklusif dapat dipandang sebagai
pemecahan atas dilema pendidikan dengan cara yang dapat diterima – atau yang sebaik
mungkin.
Dyson  (1998)  juga  mengemukakan  bahwa  pendidikan  kebutuhan  khusus  dan
prinsip inklusi  tidak muncul  dari  kevakuman  sosial,  melainkan  dari  konteks  sosial
tertentu, yang diisi dengan interaksi antara sejarah, pengetahuan, minat dan kekuasaan.
Beberapa  prinsip pendidikan,  yang beberapa  di  antaranya  kontradiktif,  saling
berbenturan  dalam  wacana  yang sedang berlangsung.  Satu contoh  adalah  prinsip
solidaritas,  kerjasama  dan  inklusi  berkonfrontasi  dengan dorongan sosial  untuk
kompetisi  (Johnsen 1998:11).  Prinsip pendidikan  yang disesuaikan dalam  sekolah
inklusif  ditantang dari  beberapa  posisi.  Salah satunya  adalah  tradisi  yang telah
mendarah daging yang memuja-muja orang yang jenius.
Berlanjutnya penciptaan perspektif baru yang berpihak kepada inklusi sangatlah
penting. Satu perspektif semacam ini dilontarkan oleh Befring dalam artikelnya tentang
perspektif  pengayaan  sebagai  satu pendekatan  pendidikan  khusus  terhadap sekolah
inklusif (Befring 1997;2001). Menurut perspektif ini, suatu sekolah yang “baik” untuk
anak penyandang cacat  dalam  kenyataannya  juga  akan  merupakan  lingkungan  yang
ideal untuk pembelajaran dan pemeliharaan kesejahteraan semua siswa lainnya di kelas
dan di seluruh sekolah tersebut.





















25





A.  KESIMPULAN
Model  pengembangan  kurikulum  merupakan  suatu alternatif  prosedur  dalam
rangka  mendesain    (designing),  menerapkan     (implementation),  dan  mengevaluasi
(evaluation) suatu kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus
dapat  menggambarkan  suatu proses  sistem  perencanaan  pembelajaran  yang dapat
memenuhi berbagai kebutuhan dan standar keberhasilan pendidikan. (Ruhimat, T. dkk
2009: 74).
Pengembangan kurikulum perlu dilakukan dengan berlandaskan pada teori yang
tepat  agar  kurikulum  yang berhasil  bisa  efektif.  Seperti  dalam  pernyataan  di  atas,
bahwasanya  model pengembangan kurikulum  merupakan alternatif dalam  mendesain,
menerapkan dan mengevaluasi serta tindak lanjut dalam pembelajaran. Banyak model
pengembangan  kurikulum  yang telah  ada,  dan  masing-masing dari  model
pengembangan kurikulum  memiliki karakteristik   yang sama,  yang mengacu berbasis
pada  tujuan  yang akan  dicapai  dalam  kurikulum  tersebut,  seperti  alternatif  yang
menekankan  pada  kebutuhan mata  pelajaran,  peserta  didik,  penguasaan  kompetensi
suatu pekerjaan, kebutuhan masyarakat atau permasalahan sosial. Ada beberapa model
pengembangan kurikulum seperti model Tyler, Administratif, Grassroot, Demonstrasi,
Seller dan Miller, Taba dan model Beauchamp.
Salah satu aspek yang perlu dipahami  dalam pengembangan kurikuluym adalah
aspek yang berkaitan  dengan  organisasi  kurikulum.  Organisasi  kurikulum  berkaitan
dengan  pengaturan  bahan  pelajaran,  yang selanjutnya  memiliki  dampak terhadap
masalah  administrative  pelaksanaan  proses  pembelajaran,  team  teaching  misalnya
(Olivia, 1992: 285 dalam Ruhimat, T. dkk, 2009: 83). Organisasi kurikulum merupakan
pola  atau desain bahan/ isi  kurikulum  yang tujuannya  untuk mempermudah siswa
dalam  mempelajari  bahan pelajaran  serta  mempermudah  siswa  dalam  melakukan
kegiatan belajar, sehingga tujuan pengembangan dapat dicapai secara efektif.








B.  SARAN
Sebenarnya tidak ada model pengembangan kurikulum dan organisasi kurikulum
yang sangat ideal bagi peserta didik, karena pada dasarnya setiap peserta didik adalah
individu yang beragam dan tidak sama satu dengan yang lainnya. Tujuan dari adanya

26





model  pengembangan  kurikulum  dan organisasi  kurikulum  ini  adalah  satu,
mencerdaskan peserta didik, yang mana tidak hanya cerdas dalam bidang kajian yang
ditekuninya,  namun  diharapkan  dapat  mengimplementasikan  kemampuannya  dalam
kehidupan masyarakat.
Setiap peserta  didik pasti  memiliki  kebutuhan  dan  kemampuan  yang berbeda-
beda, sebagai guru, kita dituntut untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan peserta
didik,  pada  dasarnya  kurikulumlah  yang menyesuaikan  peserta  didik,  bukan  peserta
didik yang menyesuaikan pada kurikulum. 
Jadi,  penulis  sarankan  untuk memilih model  pengembangan kurikulum  yang
disesuaikan  dengan  kemampuan  anak,  namun  perlu ditekankan  pula,  perlu adanya
pemerataan  fasilitas  pendidikan  di  seluruh Indonesia,  demi  menysukseskan  tujuan
kurikulum  yang telah  direncanakan,  sehingga  tidak ada  daerah  yang terlalu maju
ataupun terlalu tertinggal. 

































DAFTAR PUSTAKA







27





Hernawan,  A.  H.,  dkk.  2007.  Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran.  Jakarta:
Universitas Terbuka
Johsen,  Berit  T.    2000.  Kurikulum untuk Pluralitas  Kebutuhan Belajar  Individual.
(Online). www.idp-europe.org
Ruhimat,  Toto,  dkk.  2009.      Kurikulum dan Pembelajaran.  Bandung : Jurusan
Kurtekpen.
Rusma.  2008.  Manajemen Kurikulum (Seri Manajemen Sekolah Bermutu).  Bandung:
Mulia Mandiri Press




















































28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Filsafat Dan Sejarah Pendidikan Indonesia

Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena pengertiannya yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai (systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakati dan anut bersama.

Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang memberi warna dan menjadi "semangat zaman" (zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.

Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l. untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).

Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)

Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.

Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau "tradisional" yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)

Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-¬anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.

Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki "perbatasan" (sejarah) pendidikan dengan "ilmu-ilmu terapan" yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis "simbiose mutualistis" antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.

Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.